II. MASA KERAJAAN GOWA
Berdasarkan
catatan-catatan sejarah, Kota Makassar sejak dulu adalah bagian dari wilayah
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Pusat Kerajaan Gowa dan pusat Kerajaan Tallo
hanya berjarak 10 km. Kedua kerajaan ini pada umumnya di diami oleh Suku
Makassar dan Bugis dengan mata pencaharian sebagai petani, pedagang, nelayan,
dan dikenal pula sebagai pelaut ulung dengan menggunakan perahu layar Pinisi
atau Palari mengarungi lautan sampai ke Australia dan Madagaskar (Afrika). Dari
buku "Wetboek voor Zeevarende van het Koninkrijk Mangkasar en Boegis op
het eiland Celebes" (Pedoman pelaut kerajaan Makassar Bugis dan di Pulau
Selebes atau Sulawesi), dapat diketahui bahwa orang-orang Makassar dan Bugis
sebagai pelaut telah mengarungi sebuah lautan Nusantara dan telah berlayar ke
Semarang, Sumbawa, Timor, Bengkulen, Aceh, Perak, Malaka, Johor, Palembang,
Banjarmasin, dan Manila.
Kerajaan Gowa terletak di bagian selatan Kota Makassar merupakan daerah
persawahan yang subur sampai Takalar dengan pengairan yang bersumber dari
Sungai Jeneberang, demikian juga Kerajaan Tallo yang terletak di bagian utara
Kota Makassar sampai dengan Maros dan Siang (Pangkajene) mempunyai daerah
persawahan yang luas dengan sumber pengairan dari Sungai Tallo, Sungai Maros, dan
sungai-sungai kecil lainnya yang mengalir dari Pegunungan Lompobattang di
sebelah timur. Karena luasnya daerah persawahan, maka kedua kerajaan ini
merupakan penghasil beras yang melimpah yang diperdagangkan keseluruh pelabuhan
antara lain Ternate, Jawa, Sumatera, Malaka, dan Manila (Filipina).
Jauh sebelum terbentuknya Kerajaan Gowa, yang lazim disebut Kerajaan Makassar,
orang Melayu menyebut Mengkasar, telah ada Kerajaan Makassar yang berpusat di Pujananti (Pujananting) atau Sunra Riaja.
Pusat kerajaan tersebut kemudian pindah ke Daerah Pangkajene, yang dahulu oleh
orang Portugis menamakan Siao atau menurut orang tua-tua di daerah itu
disebutnya Siang yang berpusat di Bungoro. Kerajaan Siang didirikan oleh
Karaeng Kodingareng (orang Portugis menyebut Godinaro) pada tahun 1211 atau
kurang lebih 200 tahun sebelum berdirinya Kerajaan Gowa, Bone, Soppeng, dan
Sawitto. Perdagangan di Siang telah berkembang pesat jauh sebelum Makassar
muncul, bahkan Kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaannya.
Kerajaan Siang mempunyai pelabuhan yang sudah ramai dikunjungi orang Melayu dan
Portugis dan telah menetap di bandar niaga ini sejak sekitar tahun 1490.
Menurut buku sastra I-Lagaligo (cerita Bugis Kuno), disebut bahwa isteri ke-3
I-Lagaligo Topadammani Opunna Cina atau Tanah Ugi bernama Karaeng Tompo Daeng
Mallino To Mangkasa, Datunna Sunra Riaja. To Mangkasa (orang Makassar) adalah
sebutan orang Bugis untuk orang Makassar. Karaeng Tompo Daeng Mallino adalah
kemanakan raja Ajatasi' atau Sunra Riaja bernama Nyili'na Iyo, dengan pusat
kerajaan di Gosabare.
Jika ditinjau dari sejarah Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk
(1350-1389) dengan Maha Patih Gajah Mada, Makasar (Makassar) sudah dikenal dan
tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab "Negarakertagama"
karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi yaitu
Bantayan (Bonthain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun
(Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (P.Kunyit), Selaya (Saleier), dan Solot
(Solor). Nama Bantayan artinya tempat pembantaian, menurut cerita, pada jaman
kerajaan Majapahit, beberapa orang dari Jawa berkunjung dan melihat orang saling
membantai, sehingga orang dari Jawa tersebut menyebutnya bantayan.
Dalam lontara diterangkan bahwa sebelum kerajaan Gowa terbentuk ada 4 raja yang
memerintah atas negeri-negeri yaitu: Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang,
Data’, Agang Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero. Kesembilan negeri ini membentuk
federasi yang diketuai seorang pejabat digelar Paccallaya. Kerajaan Gowa baru
berdiri kira-kira tahun 1300 Masehi dengan pusat kerajaan terletak di atas
bukit Takka'bassia yang kemudian disebut Tamalate. Menurut cerita, Tamalate
artinya "tidak layu", adalah nama Istana raja Gowa yang dibangun dari
satu pohon kayu, sampai dengan selesainya pembangunan istana tersebut dahan dan
daun dari pohon itu tidak layu, sehingga Istana raja Gowa ini diberi nama
Tammalate atau Tamalate. Di istana inilah raja-raja Gowa dilantik menurut adat
Kerajaan Gowa, sehingga disebut Pallantikang. Di tempat ini pulalah beberapa
raja Gowa dimakamkan.
Raja Gowa yang Pertama adalah seorang perempuan yang diberi nama (gelar)
Tumanurung Bainea (1320-1345) yang kawin dengan Karaeng Bayo, yang merupakan
cikal bakal raja-raja Gowa. Tumanurung (Tu-manurung), “tu” artinya orang;
“manurung“ artinya turun ke bawah (turun dari kayangan). Menurut cerita,
Karaeng Bayo berasal dari Bonthain yang hidupnya di air (orang-orang bayo),
lalu disebut Karaeng Bayo. Karaeng Bayo mempunyai saudara bernama Lakipadada.
Tumanurung Bainea digantikan oleh putranya bernama Tumasalangga Baraya, dan
menjadi Raja Gowa ke-2 tahun 1345-1370. Dalam silsilah raja-raja Gowa disebutkan,
raja-raja Gowa berikutnya sesudah Tumasalangga Baraya adalah berturut-turut
Raja Gowa ke-3 I-Puang Loe Lembang (1370-1395), Raja Gowa ke-4 Tuniata Tanri
(1395-1420), dan Raja Gowa ke-5 Karampang ri Gowa (1420-1445). Karampang ri
Gowa selanjutnya digantikan oleh Tunatangka Lopi menjadi raja Gowa ke-6
(1445-1460).
Raja Gowa ke-6 Tunatangka Lopi, membagi kerajaannya menjadi dua kerajaan,
kepada puteranya yang bernama Batara Gowa diserahkan daerah-daerah gallarang
Kerajaan Gowa, yaitu:
- Gallarang
Pacellekang,
- Gallarang
Pattallassang,
- Gallarang
Bontomanai, (sebelah timur),
- Gallarang
Bontomanai, (sebelah barat),
- Gallarang
Tombolo, dan
- Gallarang
Mangasa.
Daerah-daerah Gallarang inilah selanjutnya disebut Kerajaan Gowa di bawah Raja
Gowa ke-7 yang bernama Batara Gowa. Kepada puteranya yang bernama Karaeng Loe
ri Sero adik Batara Gowa, diserahkan daerah-daerah Gallarang Kerajaan Gowa,
yaitu:
- Gallarang
Saumata,
- Gallarang
Pannampu,
- Gallarang
Moncong Loe, dan
- Gallarang
ParangLoe.
Diluar daerah gallarang yang diserahkan kepada Karaeng Loe ri Sero, terdapat
pula dua kerajaan yang masing-masing dipegang oleh Karaeng Loe ri Bentang dan
Karaeng Loe ri Bira, yang selanjutnya menggabungkan diri dengan Karaeng Loe ri
Sero. Daerah-daerah gallarang inilah yang selanjutnya disebut Kerajaan Tallo.
Wilayah kerajaan Tallo meliputi kerajaan Marusu (Maros), Ujung Tanah, dan
Bontoala.
Setelah
Tunatangka Lopi meninggal dunia, Batara Gowa mengambil sebagian daerah Karaeng
Loe ri Sero yaitu Pao-pao, Paccinongang, Saumata, Tombolokeke, dan Borongloe,
timbullah perselisihan, sehingga Karaeng Loe ri Sero pergi ke Pulau Jawa
meminta perlindungan di Kerajaan Mataram karena diancam oleh kakaknya untuk
dihukum. Setelah Batara Gowa meninggal dunia, beliau kembali, dan didapatinya masih
ada gallarang yang setia kepadanya. Atas usul gallarangnya dibangunlah istana
kerajaan di Campagaya dekat sungai dan pinggir pantai. Daerah inilah kemudian
menjadi pusat Kerajaan Tallo. Menurut cerita, bahwa nama Tallo berasal dari
salah satu nama hutan yang disebut Talloang dekat Sungai Bira, dimana istana
yang dibangun untuk Karaeng Loe ri Sero kayunya berasal dari hutan itu.
Karaeng Loe ri Sero (1460-1490) digantikan oleh anaknya yaitu Tunilabu ri
Suriwa (memerintah sekitar 1490an). Dikisahkan, beliau melakukan pelayaran
niaga ke Jawa, Malaka, Timor, dan Banda. Dia juga berusaha menduduki Flores
namun gagal, karena armada yang dipimpinnya diserang oleh Raja Polongbangkeng
di sekitar Selayar. Dia dibunuh dan mayatnya dihanyutkan. Itulah sebabnya dia dijuluki
Tunilabu ri Suriwa (Orang yang ditenggelamkan di Suriwa). Beliaulah yang
pertama-tama membuat empang di Buloa, dan daerah persawahan di Talakapandang.
Batara Gowa (1460) hanya dapat memerintah Kerajaan Gowa selama 1 tahun. Setelah
wafat, ia diberi gelar Tuniawanga ri Paralekkanna. Beliau digantikan oleh
putranya yaitu I-Pakere Tau Tunijallo ri Passukki sebagai Raja Gowa ke-8 yang
menduduki tahta Kerajaan Gowa selama 50 tahun (1460-1510). Tunijallo kemudian
digantikan oleh saudaranya yaitu Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi sebagai
Raja Gowa ke-9 (1510-1546). Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi adalah anak
dari Somba Garassi dan ibu berasal dari Bone. Raja Gowa ke-9 ini meninggal
dunia karena menderita penyakit pada lehernya, maka ia diberi gelar Tumapa’risi
Kallona.
Pada awal masa pemerintahan Raja Gowa Daeng Matanre Karaeng Mangnguntungi atau
lebih terkenal dengan gelar Tumapa'risi Kallona, terjadi perselisihan antara
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo yang diperkirakan terjadi pada tahun 1528, dimana
pada waktu itu yang memangku raja di Kerajaan Tallo adalah Mangngayaoang Berang
Karaeng Pasi. Dalam perselisihan itu, Kerajaan Tallo diserang dan dapat
dikalahkan. Dengan kekalahan itu, dibuatlah suatu perjanjian yang berisi sumpah
untuk menyatukan dua kerajaan, yang berbunyi “Ia-iannamo tau ampasiewai
Gowa-Tallo iamo nacalla rewata” yang artinya Barang siapa yang mengadu domba
Gowa dan Tallo akan dikutuk Dewata. Sejak itu dikenal ungkapan "Ruwa
karaeng se’re ata” yang artinya dua raja satu hamba. Dengan adanya perjanjian
itu, pemerintahan kerajaan disatukan kembali dan langsung diperintah oleh raja
Gowa. Sedangkan untuk Raja Tallo dan seterusnya diangkat sebagai Tumabbicara
Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa. Kedua kerajaan inilah sering disebut Kerajaan
Makassar.
Kerajaan
Makassar mulai berkembang sejak Tumapa'risi Kallona memperluas daerah
kerajaannya dengan menaklukkan beberapa kampung atau kerajaan kecil antara
lain: Garassi, Kantingang, Parigi, Siang (Pangkajene), Suppa, Sidenreng,
Lembangang, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Madallo, Cempaka, Marusu,
Polombangkeng, Sanrobone, dan lain-lain. Selain itu, Tumapa'risi Kallonna
memerintahkan pula membangun beberapa benteng di pesisir pantai yang merupakan
benteng pertahanan memanjang dari utara ke selatan. Disamping Benteng Tallo
yang sebelumnya sudah ada, yang kemungkinan dibangun pada masa pemerintahan
Raja Tallo Karaeng Loe ri Sero, dibangunlah benteng Kale Gowa di atas bukit
Tamalate sebagai pusat kerajaan. Di Sanrobone juga dibangun benteng yang disebut
Benteng Sanrobone - terletak di Takalar, 40 km selatan Makassar -. Benteng ini
dibangun tahun 1515-1520 oleh Dampang Panca Belong (Raja Sanrobone Pertama)
atas perintah raja Gowa Tumaparrisi Kallonna. Pembuatan tembok dan dinding
benteng dikerjakan oleh rakyat secara gotong royong. Benteng ini terbuat dari
batu bata dan berbentuk perahu dengan panjang 3,7 km, mempunyai 7 pintu benteng
yaitu 4 pintu besar dan 3 pintu kecil. Dampang Panca Belong bersaudara empat
orang yaitu : Dampang Kurawu, Dampang Ko'mara, dan Dampang Bulusaraung.
|
|
|
Benteng Sombaopu dibangun pada tahun 1525
|
Benteng
Sombaopu dibangun pada tahun 1525 di muara Sungai Garassi (sekarang Sungai
Jeneberang) – pada tahun 1935 terjadi banjir besar di Benteng Sombaopu yang
merubah aliran sungai Jeneberang menuju kampung Bayang, Barombong -. Benteng
ini dikelilingi dewala terbuat dari tanah liat dengan dilengkapi meriam. Luas
Benteng Sombaopu 113.590 m2 berbentuk segi empat panjang. Di dalam benteng ini
dibangun istana baginda, rumah para bangsawan, pembesar, dan pegawai kerajaan
kerajaan. Diluar benteng tinggal para prajurit kerajaan dan keluarganya,
tukang-tukang, saudagar, dan para pendatang dari berbagai suku bangsa. Di
bagian utara benteng terdapat kampung Cina, kantor dagang Portugis, dan pasar
yang menempel pada dinding tembok. Mulai sejak itu Makassar menjadi ibu negeri
Kerajaan Makassar dan Sombaopu sebagai pusat kekuasaan, tempat istana dan
Balairung kerajaan. Sejak itu, pusat kerajaan Gowa dipindahkan dari Tamalate ke
Sombaopu.
Untuk meluaskan hegemoni kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan Raja Tumapa’risi
Kallona mengadakan hubungan dan membuat perjanjian dengan raja Bone ke-6 yaitu
La Ulio’ BotoE MatinroE ri Itterrung (1535-1560).
Dengan jatuhnya Kota Malaka ketangan Portugis dibawah pimpinan Afonso de
Albuquerque pada tanggal 24 Agustus 1511 yang merupakan kota pelabuhan dan
perdaganganan, maka banyak penduduk Melayu meninggalkan Malaka, antara lain
menuju kerajaan Gowa dan Tallo dan menetap di beberapa pulau kecil di Siang
(Pangkajene). Pulau-pulau kecil yang didiami orang Melayu kemudian diberi nama
yang huruf awalnya adalah "S" (seperti: Salemo, Satando, Saugi,
Sabutung, Sarappo). Demikian juga terjadi peralihan arus perdagangan ke wilayah
timur untuk mencari pelabuhan yang aman, seperti Pelabuhan Siang dan Pelabuhan
Tallo, sehingga kedua pelabuhan ini menjadi ramai dikunjungi oleh pedagang
perantara baik dari Maluku maupun dari pulau Jawa termasuk pedagang-pedagang
dari India, Cina, dan Semenanjung Malaka.
Pada tahun 1512 orang Portugis mulai melakukan ekspedisi ke Maluku dibawah
pimpinan Fransisco Serrao. Pada tahun 1534 Gubernur Portugis di Ternate Pedro
d'Ataide memperoleh kabar bahwa Makassar banyak menghasilkan emas, selanjutnya
dalam tahun 1538 orang Portugis melakukan ekspedisi dan sampai ke bandar niaga
Kerajaan Makassar. Untuk pertama kalinya bangsa Portugis yang tiba di Kerajaan
Makassar langsung mengadakan hubungan dengan Raja Gowa Tumapa'risi Kallonna.
Orang-orang Portugis diterima oleh Baginda di dalam istana baginda di Benteng
Sombaopu. Setelah diterima dalam suasana persahabatan dengan orang Makassar,
mereka mengusahakan juga penyebaran agama Nasrani (Katolik) di negeri Makassar.
Beberapa orang dari kalangan raja Gowa menerima agama baru itu. Selain itu,
banyaknya pula pendatang dari luar termasuk orang Melayu, antara lain Anakhoda
Bonang (seorang pedagang dari Jawa), wakil pedagang Melayu (Pahang, Patani,
Campa, Minangkabau, dan Johor) memohon kepada raja untuk diizinkan menetap dan
berdagang di Makassar. Permohonan tersebut dipenuhi dan menetap di
Mangngallekana sebelah utara Sombaopu. Daerah pemukiman ini dibawah pengawasan
syahbandar I-Mangngambari Karaeng Mangngaweang atau dikenal dengan nama I-Daeng
ri Mangngallekana.
Benteng Sombaopu yang pada mulanya merupakan benteng pertahanan, kemudian
berkembang menjadi emporium (pusat perdagangan), pemerintahan, dan pelayaran,
sehingga membentuk suatu kota pusat kerajaan dan kota pelabuhan, karena
memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh pedagang. Dengan meningkatnya
kunjungan para pedagang di Kerajaan Makassar, diangkatlah Tumailalang Kerajaan
Gowa yang bernama Daeng Pammate sebagai Syahbandar pada pelabuhan Sombaopu pada
tahun 1538. Daeng Pammate inilah juga yang membuat huruf Makassar yang terdiri
dari 18 huruf. Sejak waktu itu, orang Gowa mulai mencatat kejadian-kejadian
penting yang disebut lontara. Disebut lontara karena catatan ditulis diatas
daun lontar (Borassus flabellifer) yang telah dikeringkan berhubung kertas
belum ada. Peristiwa-peristiwa tentang Gowa dan Tallo yang dicatat Daeng
Pammate disebut Lontara Bilang Gowa Tallo (kronik kerajaan Gowa dan Tallo).
Di samping benteng-benteng Kale Gowa, Sanrobone, dan Sombaopu, serta Benteng
Tallo, dibangun lagi dua buah benteng yaitu Benteng Ujung Pandang dan Benteng
Ujung Tanah pada tahun 1545. Pembangunan Benteng Ujung Pandang menurut cerita
orang-orang tua, bahwa batu yang digunakan untuk mendirikan benteng Ujung
Pandang adalah batu kuril yang diambil dari seberang muara Sungai Tallo.
Apabila dibandingkan dengan jenis batuan tersebut, maka jenis batu ini adalah
batu tufa vulkanik yang sama dengan jenis batuan yang digunakan di Benteng
Ujung Pandang. Batu tufa vulkanik ini adalah hasil endapan lava dari Gunungapi
Lompobattang yang meletus pada tahun 2000 SM. Selain Gunungapi Lompobattang,
terdapat pula Gunungapi Cendako di Takalar yang meletus pada tahun 3000 SM,
namun endapan lava yang dihasilkan umurnya lebih tua daripada endapan lava
Gunungapi Lompobattang. Jenis batuan dari gunung api Cendako disebut baturape
cendako.
Adapun bangunan Benteng Ujung Pandang dikelilingi selokan menuju ke laut dan
menurut cerita bahwa mempunyai terowongan bawah tanah berbentuk setengah
lingkaran menuju Benteng Toa (sekarang telah dibangun gedung BNI-46 di
Jln.Jend.Sudirman) melewati di bawah Lapangan Karebosi. Di sebelah utara
Benteng Ujung Pandang terdapat jalan lurus dari Benteng Ujung Pandang ke timur
menuju Bontoala (sekarang Jln.A.Yani dan Jln.G.Bulusaraung).
Pemberian nama menjadi Benteng Ujung Pandang, menurut Dr.B.F.Matthes, bahwa di
tempat didirikan benteng banyak tumbuh nenas, yang dalam bahasa Bugis dan
Makassar disebut "pandang", sehingga benteng ini disebut Benteng
Jumpandang (Ujung Pandang). Sedangkan menurut orang-orang tua, bahwa di tempat
Benteng Ujung Pandang didirikan banyak terdapat pohon “pandang” yang daunnya
dapat dibuat anyaman menjadi tikar, topi, dan kerajinan lainnya.
Kampung Bontoala yang menurut Dr.Abd.Rachman Dg.Palallo dalam Varia Makassar,
disebutkan bahwa “Jauh sebelum agama Islam memasuki Bontoala, menjadi adat
kebiasaan bagi raja Gowa dan raja Tallo pada tiap-tiap tahun sehabis upacara
"appalili" pada sawah kerajaan yang bernama kanrobosi' (karebosi)
mengadakan pesta makan minum dengan memakan lawara paccalli, ialah kelelawar,
anak tikus yang baru lahir. Sesudah makan minum di sawah kerajaan, barulah
menuju Bontoala menyabung ayam dan bermain judi sepuas-puasnya. Jadi pada
dewasa itu negeri Bontoala adalah sebuah tempat beramai-ramai dan
bersuka-sukaan”.
Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, selain Sombaopu, Makassar pada waktu itu
sudah membentuk suatu kota menurut ukuran masa itu, dengan pusat keramaian
terletak di Bontoala dan Benteng Ujung Pandang yang dihubungkan jalan antara
Benteng Ujung Pandang, Benteng Toa, dan Kampung Bontoala, serta adanya taman-taman
yang dibuat orang Portugis di Kampung Pattunuang.
Pada waktu Raja Gowa ke-10 I-Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan
gelar Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) menjadi Raja Gowa ke-10, Benteng
Sombaopu dikembangkan dan dibangun dari batu bata. Menyusul pada tahun 1546
dibangun pula benteng Barombong, dan pada tahun 1550 Benteng Kale Gowa diberi
pula batu bata.
Selain Kerajaan Gowa yang sudah terkenal ke beberapa kerajaan diluar Sulawesi,
terdapat pula kerajaan besar yaitu Kerajaan Bone dan Kerajaan Luwu. Antara
Kerajaan Bone dan Kerajaaan Gowa sering terjadi permusuhan.
Di Kerajaan Bone terjadi penggantian raja setelah La Ulio BotoE meninggal
dunia. Ia digantikan oleh putranya yaitu La Tenrirawe Bongkangnge (1560-1578).
Pada masa pemerintahaanya, kerajaan Gowa menyerang kerajaan Bone berhubung Raja
TellulimpoE (Bulo-bulo, Lamatti, Tondong) yang masuk wilayah kerajaan Gowa
menggabungkan diri dengan kerajaan Bone. Pada akhir peperangan tercapai
kesepakatan mengenai batas wilayah kedua kerajaan yaitu Sungai Tangka.
Kesepakatan ini disebut “Jori’ Dewata” atau Garis Dewata.
Setelah Tunipalangga Ulaweng wafat, ia digantikan oleh saudaranya yaitu
I-Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data (1565) sebagai Raja Gowa ke-11. Baru
saja dua puluh hari dilantik, ia berangkat ke Bone melanjutkan perang dengan
Raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge. Dalam pertempuran, Kerajaan Gowa dipimpin
langsung oleh rajanya, sampai ia tewas di Pappolo dipancung oleh pasukan Bone
yang bernama La Turu (La Tunru). Atas usaha Kajao Laliddo, jenasah Raja Gowa
I-Tajibarani diantar ke Gowa untuk disemayamkan. Raja ini hanya memerintah
selama 40 hari lamanya, yang kemudian diberi gelar Tunibatta.
Untuk menggantikan kedudukannya, ia digantikan oleh puteranya yaitu I-Manggorai
Daeng Mammeta Karaeng Langkasa dengan gelar Tunijallo sebagai Raja Gowa ke-12
(1565-1590). Tunijallo memperisterikan seorang putri dari Kerajaan Tallo yang
bernama I-Somba Daeng Ningai Karaeng Pattingalloang yang juga adalah Raja Tallo
ke-5. Dari perkawinannya tersebut ia mempunyai anak laki-laki 8 orang dan
perempuan 3 orang, diantara anak laki-lakinya adalah I-Tepukaraeng Daeng
Parabbung Karaeng Bontolangkasa dan I-Mangngarangi Daeng Manra’bia.
Tunijallo dalam menjalankan pemerintahannya kembali mengadakan perjanjian dengan
Kerajaan Bone sebagai akibat peperangan sebelumnya. Untuk melakukan perdamaian
itu, diutuslah Raja Tallo Tumenanga ri Makkoayang bersama-sama Gallarang
Mangngasa dan Lomo Manrimisi menemui Raja Bone ke-7 Latenrirawe Bongkangnge
yang didampingi oleh Kajao-Laliddo. Dalam pertemuan itu, tercapai persetujuan
perdamaian yang disebut CappaE ri Caleppa (Perjanjian di Caleppa) tahun 1565
yang sangat menguntungkan pihak Bone.
Disamping hubungan yang telah dilakukan dengan Kerajaan Bone, Kerajaan Gowa
juga menjalin persahabatan dengan Kerajaan Mataram, Johor, Banjarmasin, dan
Ternate. Dalam tahun 1580 Sultan Ternate Baabullah (1570-1583) berkunjungan ke
Makassar setelah mengunjungi Selayar yang menjadi daerah taklukannya. Dalam
kunjungan ini, Sultan Baabullah dengan Tunijallo tercapai kesepakatan bahwa
Sultan Ternate menyerahkan kembali Pulau Selayar yang telah lama dikuasainya
kepada Kerajaan Gowa, dan mengajak Raja Gowa Tunijallo untuk memeluk agama
Islam.
Selanjutnya hubungan antara kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone mengalami lagi
keretakan, perjanjian yang telah dibuat dengan Kerajaan Bone tidak dapat
dipelihara. Pada tahun 1585 terjadi lagi peperangan antara Kerajaan Bone dengan
Gowa. Akhirnya Tunijallo wafat karena dibunuh oleh pengawalnya sendiri pada saat
penyerangan ke Bone. Tunijallo digantikan oleh putranya yaitu I-Tepukaraeng
Daeng Parabbung Karaeng Bontolangkasa dengan gelar Tunipassulu sebagai Raja
Gowa ke-13 (1590-1593). Pada waktu diangkat menjadi raja Gowa ia baru berumur
15 tahun. Dua tahun kemudian Tunipassulu dipecat dari jabatannya oleh Dewan
Kerajaan (Bate Salapang) karena perbuatan baginda yang sewenang-wenang yang
tidak disukai oleh rakyatnya. Tunipassulu akhirnya meninggal dunia pada tanggal
5 Juni 1617 di Buton. Setelah Tunipassulu dipecat, menyusul ibunya yang juga
Raja Tallo menyerahkan tahtanya kepada adiknya yaitu Karaeng Matoaya ri Tallo.
Dengan dipecatnya Tunipassulu sebagai raja Gowa, maka ia digantikan oleh
adiknya yaitu I-Mangngarangi Daeng Manrabia sebagai Raja Gowa ke-14 yang pada
waktu itu baru berusia 7 tahun (1593-1639). Berhubung karena ia masih dibawa
umur, maka untuk sementara pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Kerajaan
Gowa yaitu I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka atau Karaeng Matoaya
ri Tallo yang juga adalah raja Tallo.
Untuk melengkapi pertahanan di Benteng Sombaopu, pada tahun 1593 dibuat sebuah
meriam dengan panjang 6 meter, garis tengah (radius) lubang mulut 41,4 cm,
berat meriam ±500 kg. Meriam ini dijuluki “Meriam Ana’ Mangkasar” dan dipasang
dalam benteng Sombaopu.
Bertepatan dengan masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 I-Mangngarangi Daeng
Manrabia, pada tahun 1596 Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan de
Keyzer mulai menginjakkan kakinya di pelabuhan Banten, yang kemudian mengadakan
perjanjian persahabatan dengan Mangkubumi Kerajaan Banten yaitu Pangeran Aria
Ranamanggala, paman dan wali Raja Banten Maulana Muhammad. Pada tanggal 28
Nopember 1598 tiba lagi satu rombongan di bawah pimpinan Jacob van Neck dan van
Waerwijck. Sedangkan Cornelis de Houtman melanjutkan perjalanannya ke Aceh,
disana ia dibunuh oleh rakyat Aceh pada tahun 1599.
Kedatangan orang Belanda pertama-tama hanyalah bertujuan untuk melakukan
perdagangan yang terdiri dari beberapa "Perserikatan dagang".
Kemudian perserikatan-perserikatan digabung kedalam suatu badan yang diberi
nama "Verenigde Oost-Indische Compagnie". Setelah mendapat hak
kekuasaan tertentu (octrooi) dari Staten Generaal di Negeri Belanda, yaitu hak
untuk berdagang sendiri, maka pada pada tanggal 20 Maret 1602 didirikanlah
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Kemudian haknya diperluas dengan:
- mengadakan
perjanjian dengan raja-raja di Nusantara (Indonesia).
- membentuk
tentara.
- membentuk
pemerintahan, mengadakan pengadilan dan kepolisian.
Dengan adanya hak tersebut, maka Belanda mendirikan loji (asrama) dan kantor
dagang pertama di Banten pada tahun 1603 dengan kepalanya adalah Francois
Wittert. Menyusul pada tahun 1605 Belanda mulai pula menginjakkan kakinya di
Ternate, dengan terlebih dahulu merebut benteng Portugis di Amboina pada
tanggal 23 Pebruari 1605. Namun benteng ini dapat direbut kembali oleh bangsa
Portugis. Pada tanggal 26 Juni 1607 Belanda dapat menguasai Ternate setelah
Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli dengan VOC.
Adapun kerajaan Gowa dan Tallo yang diperintah oleh I-Mangngarangi Daeng
Manrabia yang menginjak dewasa, pada bulan September 1605 tiga ulama tiba
di Tallo, yaitu Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' (Datuk) Ribandang yang
berasal dari Minangkabau Sumatra Barat bersama dengan Khatib Sulaiman atau
Dato' (Datuk) Patimang dan Khatib Bungsu atau Dato' (Datuk) ri Tiro. Ketiga
khatib ini dikirim oleh Raja Aceh Sultan Iskandar Muda untuk menyebarkan Agama
Islam. Menurut cerita dari Jawa, Datuk Ribandang adalah salah satu murid Wali
Songo yaitu Sunan Giri. Datuk Ribandang kemudian dapat meng-islamkan Mangkubumi
atau Raja Tallo I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka bertepatan pada
malam Jumat tanggal 22 September 1605 atau 9 Jumadil-awal 1014 H, kemudian
disusul Raja Gowa I-Mangngarangi Daeng Manrabia dan penduduk
kerajaan Gowa-Tallo. Setelah Raja Gowa I-Mangngarangi Daeng
Manrabia memeluk agama Islam, maka ia diberi gelar Sultan Alauddin. Dari
hikayat Kutai, disebutkan bahwa Datuk ri Bandang bersama Tuan Tunggang Parangan
juga ke Kutai mengajarkan Agama Islam, tetapi Datuk ri Bandang kembali lagi ke
Makassar.
Dua tahun sesudah Raja Gowa Sultan Alauddin memeluk agama Islam, pada hari
Jumat, tanggal 9 Nopember 1607 atau 19 Rajab 1016 H diadakanlah sembahyang Jumat
pertama di Masjid Tallo dan dinyatakan bahwa penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah
memeluk Agama Islam dan sebagai agama resmi di Kerajaan Gowa-Tallo. Bersamaan
dengan itu, di Masjid Mangallekana di Sombaopu juga diadakan sembahyang Jumat,
(peristiwa sejarah inilah dijadikan sebagai hari jadi Kota Makassar yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2000, tanggal 28
Pebruari 2000).
Semasa Sultan Alauddin memangku raja Gowa bersama mangkubuminya Raja Tallo
I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka, rakyat hidup makmur, aman, dan
damai. Hasil pertanian, perikanan, dan peternakan melimpah serta membuka
lapangan pekerjaan seperti pertukangan dan membuat perahu, senjata keris,
tombak, alat pertanian. Selain itu, beliau juga taat menjalankan syariat Islam
dan menyebarkan Agama Islam keseluruh daerah kekuasaannya termasuk
kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi.
Kerajaan Makassar yang sudah terkenal sampai keseluruh Nusantara sebagai
penghasil dan pengekspor beras dan ternak, memiliki pelabuhan yang ramai dan
strategis karena merupakan pelabuhan transito perdagangan antara Malaka dan
Maluku serta banyaknya pedagang dari Portugis, Makao, Cina, Jepang,
Sailan, Gujarat, menyusul kemudian pedagang dari Inggris dan Denmark. Hubungan
dagang antara Makassar dan Ternate juga sejak lama sudah berjalan dengan baik,
karena Ternate adalah penghasil cengkeh dan pala yang sangat diperlukan oleh
bangsa-bangsa di Eropa, demikian juga hubungan dagang yang dilakukan oleh
pedagang-pedagang Bugis dan Makassar dengan Malaka, sehingga bangsa Belanda
ingin pula menguasai daerah perdagangan di Makassar yang menganggap Kerajaan
Makassar sebagai saingan perdagangan. Selain itu, pelabuhan-pelabuhan di Jawa
Timur mulai merosot sehingga pelabuhan Makassar menjadi pusat penyalur bahan
makanan yang diperlukan oleh para pedagang. Disamping rempah-rempah dan beras
yang dipasarkan di Kerajaan Makassar, terdapat pula sutra, emas, porselin,
berlian, intan, kayu cendana, budak dan lain-lain.
Setelah VOC mengusir bangsa Portugis dan Spanyol dari Ternate dan berhasil
menguasai Ternate, maka Laksamana Belanda Cornelis Matelief mengirim saudagar
ke Sombaopu untuk mengadakan kerjasama perdagangan dengan raja Gowa. Pada
tanggal 21 Maret 1607 bangsa Belanda tiba di Pelabuhan Makassar dan membuka
kantor dagang dalam tahun itu juga dan mengangkat Claes Leursen sebagai Kepala
Kantor Dagang. Selain itu, dibangun pula loji (asrama) disebelah utara Benteng
Ujung Pandang. Tempat ini kemudian diberi nama Stad Vlaardingen, oleh penduduk
pribumi dinamakan Kampung Balandaya.
Pada tanggal 19 Desember 1610 Pieter Both diangkat oleh Staten General menjadi
Gubernur General Pertama di Hindia Belanda dengan didampingi oleh Raad van
Indie untuk mengepalai VOC yang telah dibentuk sejak tanggal 20 Maret 1602.
Pada masa Gubernur General Pieter Both, dibentuklah angkatan perang Belanda,
dan pemerintahan (kekuasaan) dilakukan secara terpusat guna menghadapi
kekuasaan Portugis dan Spanyol di Hindia Belanda.
Setelah Belanda membuka perwakilan dagang di Kerajaan Makassar, menyusul
Inggris tahun 1613, Spanyol tahun 1615, Denmark tahun 1615, dan kemudian pada
tahun 1618 Cina juga membuka perwakilan dagangnya. Kerajaan Makassar pada waktu
itu, telah berkedudukan sebagai pusat perniagaan dan pangkalan bagi pedagang dan
pelaut Makassar, pelabuhan transito, bandar niaga internasional. Kemajuan yang
dicapai Makassar ternyata tidak memuaskan pedagang Belanda. Mereka tidak
menginginkan pedagang Eropa berkeliaran di Makassar. Bagi pedagang Belanda,
pedagang Eropa lainnya adalah saingan.
VOC mendesak Raja I-Mangarrangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin (1593-1639)
agar tidak menjual beras lagi kepada orang Portugis di Malaka. Namun, ditolak
oleh raja, yang tidak memuaskan Belanda sehingga pecah peristiwa Enkhuyzen pada
tanggal 28 April 1615. Peristiwa ini bermula ketika kapal Enckhuyzen, yang
berlabuh di Pelabuhan Makassar, diselenggarakan acara malam ramah-tamah dengan
para pembesar dan bangsawan Kerajaan Makassar. Acara ini diselenggarakan
sehubungan dengan dicapainya kesepakatan antara pedagang Belanda di Makassar
dan pihak dewan kapal (scheepsraad) setelah mengajukan keluhan mengenai
berbagai hambatan dan tantangan yang dihadapi berkenan dengan kebijakan ekonomi
Kerajaan Gowa. Ketika para undangan tiba diatas kapal, diantaranya Syahbandar
Makassar (Encik Husen) dan dua orang anggota keluarga kerajaan, pihak Belanda
berusaha melucuti persenjataan mereka sehingga terjadi perlawanan yang menelan
korban jiwa. Dalam peristiwa ini Belanda berhasil menawan Encik Husen dan dua
orang anggota keluarga raja, yang kemudian di bawah berlayar ke Banten. Kapal
Enkhuyzen yang dinakhodai Dirck de Vries, tiba di Pelabuhan Makassar pada
tanggal 2 April 1615. Ketika itu koopman (pedagang) VOC di Makassar adalah
Abraham Sterck datang ke kapal dan mengungkapkan perasaan tidak puasnya.
Kembali kepada Kerajaan Makasar yang semakin ramai dengan kedatangan
bangsa-bangsa lain di Sombaopu, dalam tahun 1632 seorang bangsawan Melayu yaitu
Datuk Maharajalela beserta dua kemanakannya suami isteri datang pula menetap di
Sombaopu. Selanjutnya oleh orang-orang Melayu yang sudah lama menetap di
Sombaopu, mengangkat Datuk Maharajalela sebagai kepala orang-orang Melayu
dengan gelar Datuk Penggawa.
Perang pertama kerajaaan Gowa dengan Belanda terjadi pada tahun 1631-1634,
yaitu sewaktu raja Gowa mengirim 100 perahu perang ke Ambon untuk membantu
rakyat Ambon memerangi Belanda di perairan Maluku. Perang ini dikenal dengan
Perang Hongi. Setelah peristiwa itu, pada tahun 1635 Belanda mengirim 12 kapal
ke perairan Makassar dan mulai menembaki Benteng Galesong, namun serangan ini
gagal kerena perahu perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar
sebagai taktik menghindari bentrokan. Setahun sebelum peristiwa itu, Benteng
Galesong yang sebelumnya terbuat dari tanah telah diubah dan dibuat menjadi
batu.
Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) yang dibangun sejak masa pemerintahan
Tumapa'risi Kallonna, kemudian pembangunannya dilanjutkan oleh
Tunipallangga Ulaweng, selanjutnya pada masa Raja Gowa Sultan Alauddin, tepatnya
tanggal 9 Agustus 1634 dibuat dinding tembok Benteng Ujung Pandang, dan pada
tanggal 23 Juni 1635 dibuat lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang
sehingga menyerupai seekor penyu. Luas benteng Ujung Pandang adalah 147,5 m x
125 m. Benteng Ujung Pandang yang dibangun secara besar-besaran itu, meniru
arsitektur Eropa pada zaman itu.
Setelah itu, diperintahkan pula membangun sebuah benteng terletak antara
Sombaopu dengan Barombong. Benteng ini di bangun di tempat yang rindang dan
sejuk di pinggir pantai sebagai tempat untuk beristirahat. Benteng ini diberi
nama Benteng Panakkukang artinya "Tempat yang merindukan". Selain
itu, juga dibangun Benteng Ana' Gowa, Benteng Galesong dan Benteng Garassi.
Selain membangun benteng, di bangunlah masjid yang terletak di Kampung Bontoala
pada tanggal 10 Nopember 1635. Satu tahun setelah pembangunan masjid,
I-Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka Mangkubumi Kerajaan Gowa
meninggal dunia pada tanggal 1 Oktober 1636. Selanjutnya Karaeng Katangka
diberi gelar Tumenanga ri Agamana. Adapun yang menggantikan Karaeng Katangka
adalah putranya yaitu I-Mangadacini Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang.
Karaeng Pattingalloang sangat disegani, bijaksana, dan mempunyai pengetahuan
yang luas dan terkenal pandai dan berani serta menguasai bahasa Portugis,
Spanyol, Inggris, Perancis, dan Arab.
Pada tanggal 26 Juni 1637 untuk pertama kali diadakanlah perjanjian di Benteng
Sombaopu antara Raja Gowa Sultan Alauddin dengan Belanda (VOC) yang dipimpin
oleh Cornelius Matelief. Dalam perjanjian, Belanda dapat melakukan perdagangan
bebas dengan ketentuan tidak diperkenankan menetap di Sombaopu. Sedangkan
usulan Belanda melarang Portugis dan Inggris berdagang di Makassar ditolak oleh
Sultan Alauddin.
Dua tahun setelah mengadakan perjanjian dengan Belanda, Sultan Alauddin
meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 1639 setelah ia memerintah kerajaan Gowa
selama 46 tahun. Sehari sebelum meninggal dunia, Sultan Alauddin telah
menyerahkan kekuasaannya kepada putranya yaitu I-Mannuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiung bergelar Sultan Malikussaid (1639-1653). Beliau dilantik
menjadi Raja Gowa ke-15 pada tanggal 15 Juni 1639, yang masih dalam suasana
berkabung.
Sultan Malikussaid dilahirkan pada tanggal 11 Desember 1606. Ia seorang
bangsawan yang berani dan bijaksana tanpa membedakan antara bangsawan dan orang
kebanyakan. Dalam menjalankan pemerintahan ia masih didampingi oleh Mangkubumi
I-Mangada'cinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yang juga sebagai raja
Tallo. Dari pengalaman dan pengetahuan luas yang dimilki Karaeng
Pattingalloang, raja Gowa mengadakan persahabatan dengan beberapa penguasa
seperti Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa (India), penguasa
di Keling (Koromandel - India), raja Inggris, raja Portugal, raja Kastilia (Spanyol)
dan Mufti di Makkah. Mufti inilah yang memberi gelar Sultan Muhammad Said atau
Malikussaid.
Dalam masa pemerintahan Malikkussaid, pada tahun 1644 Kerajaan Gowa kembali
menyerang Kerajaan Bone, yang akhirnya Kerajaan Bone dengan rajanya La Maddaremmeng
dapat dikalahkan dan ditawan di kampung Sanrangang salah satu kampung di
pesisir sungai Garassi (Jeneberang), menyusul beberapa keluarga dari Kerajaan
Bone di tawan dan di bawa ke Gowa yaitu Arung Tana Tengnga Toa, We Tenrisui
Datu Mario-Riwawo (ibu Arung Palakka), Arung Belo, Arung Apanang (nenek Arung
Palakka), Lapottobunne Arung Tana Tengnge (ayah Arung Palakka), Daeng Mabela
dan lain-lain. Sedangkan La Tenriaji saudara raja Bone yang di angkat rakyatnya
menjadi raja Bone di asingkan ke Siang (Pangkejene) sampai akhirnya meninggal
dunia di Siang, sehingga ia diberi gelar "Matinroe ri Siang".
Sultan Malikkussaid, walaupun terikat perjanjian dengan Belanda yang dibuat
oleh raja Gowa sebelumnya, tetap membantu rakyat Ambon dengan rajanya Kimelaha
yang berkedudukan di Luhu (Ambon). Ini terjadi sewaktu Raja Kimelaha meminta
bantuan kepada raja Gowa, dan oleh raja Gowa pada bulan Januari 1653 mengirim
30 buah perahu perang dan pasukan untuk membantu Ambon melawan Belanda (VOC).
Atas bantuan itu, pada tanggal 21 Oktober 1653 Belanda memaklumkan perang
dengan kerajaan Gowa.
Dalam usia 47 tahun, Sultan Malikkusaid meninggal dunia pada tanggal 5 Nopember
1653, yang selanjutnya diberi gelar Tumenanga ri Papambattunna. Adapun yang
menggantikannya adalah putranya yaitu I-Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangappe yang diberi gelar Sultan Hasanuddin (1653-1669). Pada waktu itu
Sultan Hasanuddin masih berusia 22 tahun.
Sultan Hasanuddin lahir pada malam Jumat tanggal 12 Januari 1631 dari ibunya
bernama I-Sabbe To’mo Takuntu putri bangsawan Laikang. I-Sabbe To’mo Takuntu
merupakan salah seorang isteri Sultan Malikkussaid. Sultan Hasanuddin mempunyai
seorang saudara perempuan bernama I-Sani atau I-Patimang Daeng Nisakking
Karaeng Bontoje’ne yang kemudian menjadi permasuri Sultan Bima Ambela Abul
Chair Sirajuddin.
Sultan Hasanuddin yang dilantik sebagai Raja Gowa ke-16 pada tanggal 16
Nopember 1653, beliau tetap menetap di Benteng Sombaopu. Dua tahun kemudian
Sultan Hasanuddin mengawini I-Bate Daeng Tommi atau I-Lo’mo Tombong Karaeng
Pabineang putri Karaeng Pattingalloang (Mangkubumi Kerajaan Gowa).
Pada awal masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin masih didampingi oleh Karaeng
Pattingalloang sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa. Setelah Karaeng
Pattingangllaong wafat pada tanggal 15 September 1654, maka yang menjadi
mangkubumi adalah Karaeng Karunrung dan menetap di Bontoala dengan sebuah rumah
yang besar menyerupai istana yang indah. Dindingnya mempunyai hiasan dan
benda-benda berasal dari Eropa dan Cina. Karaeng Karunrung sangat ditakuti oleh
semua orang karena kejam terhadap orang yang tidak disukai.
Untuk mempertahankan kerajaan Gowa dari serangan Belanda, oleh Sultan
Hasanuddin memerintahkan membangun lagi sebuah benteng yang disebut Benteng
Mariso. Dengan selesainya benteng itu, maka Makassar telah dikelilingi beberapa
benteng memanjang dari utara keselatan yaitu Benteng Tallo, Ujung Tanah, Ujung
Pandang, Barobboso, Mariso, Sombaopu, Garassi, Panakkukang, Ana' Gowa, Kale
Gowa, Barombong, Galesong dan Sanrobone yang sebagian besar berada dipesisir
pantai Makassar.Keseluruhan benteng yang telah dibangun, Benteng Sanrobone
adalah yang paling luas.
Dengan adanya keinginan politik Belanda untuk menguasai seluruh Nusantara dalam
upaya menanamkan hegemoninya termasuk di Kerajaan Gowa, maka VOC mulai menekan
Kerajaan Makassar dan membatasi ruang gerak para pedagang Makassar di Ternate.
Namun keinginan itu mendapat perlawanan dari Kerajaan Gowa yang menimbulkan
pertempuran baik dilaut maupun di daratan Sulwesi Selatan sendiri. Ketegangan
mulai terjadi dari tahun 1655 sampai dengan 1669 yang menimbulkan perang besar
antara Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin dengan pasukan VOC. Untuk
menghadapi pasukan Kerajaan Belanda dikirimlah pasukan VOC dari Batavia dibawah
pimpinan Speelman yang tiba di Makassar pada tanggal 19 Desember 1666. Dalam
peperangan dengan Kerajaan Gowa, VOC dibantu oleh pasukan dari Bugis yang
dipimpin oleh Arung Palakka seorang bangsawan dari Kerajaan Bone yang mempunyai
rasa dendam terhadap bangsawan Gowa atas perlakuannya terhadap keluarganya.
Selain itu, bantuan Arung Palakka juga bertujuan untuk melepaskan kekuasaan
Kerajaan Gowa terhadap Kerajaan Bone. Dilain pihak pasukan Kerajaan Makassar
dipimpin oleh Karaeng Lengkese, Karaeng Karunrung dan Maradia Balanipa dengan
jumlah pasukan semua kurang kebih 30.000 orang.
Dalam penyerangan di bagian selatan yang dipimpin oleh Arung Palakka, pertama
kali yang diserang adalah Benteng Galesong dan berhasil diduduki pada akhir
Agustus 1667, disusul Benteng Barombong yang berhasil pula diduduki pada malam
hari tanggal 22 Oktober 1667. Selanjutnya berturut-turut benteng-benteng dan
pertahanan lainnya seperti Panakkukang, Ujung Pandang. Dengan
kekalahan-kekalahan yang dialami oleh Kerajaan Gowa akhirnya dibuatlah
perjanjian antara Kerajaan Gowa yang diwakili oleh Raja Gowa Sultan Hasanuddin
dan VOC diwakili oleh Speelman. Perjanjian ditandatangani di Kampung Bungaya,
Barombong bertepatan pada hari Jumat tanggal 18 Nopember 1667 yang isinya
terdiri dari 30 pasal yang sangat menguntungkan VOC. Perjanjian ini kemudian
disebut Cappayya ri Bungaya (Perjanjian Bungaya) atau Het Bongaisch Verdrag.
Pokok-pokok dari perjanjian, antara lain :
- Melepaskan
seluruh tawanan pegawai VOC (Pasal 2);
- Menyerahkan
barang VOC yang disita (Pasal 3);
- Mengusir
semua bangsa Eropa yang berdagang di Makassar (pasal 6);
- Hanya
membolehkan VOC yang berdagang di Makassar tanpa macam-macam kewajiban
(Pasal 8);
- Melarang
orang Makassar berlayar ke Maluku (Pasal 9);
- Membongkar
benteng-benteng pertahanannya (Pasal 10);
- Menyerahkan
Benteng Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC
(Pasal 11).;
- Kerajaan
Makassar diwajibkan membayar kerugian perang (Pasal 13);
- Melepaskan
koloni-koloninya (Pasal 14 dan 16 hingga 21).
Berdasarkan perjanjian itu, benteng Barombong, Panakkukang, Garassi, Mariso,
Barobboso dihancurkan, sedangkan Benteng Ujung Pandang beserta kampung dan
tanah disekitarnya diserahkan kepada VOC. Selain itu, Kerajaan Gowa harus
melepaskan haknya atas Buton, Wajo, Bulo-bulo, Mandar, Pulau-pulau Sula dan
lain-lain pulau yang termasuk kekuasaan Ternate, seperti Selayat, Muna dan
seluruh daerah-daerah di pesisir timur Sulawesi yaitu mulai dari Sanana sampai
Manado, pulau-pulau Gapi, Banggai dan lain-lainnya yang terletak antara Mandar
dan Manado, seperti Lambagi, Kaidipan, Buwol, Toli-toli, Dampelas, Balaisang,
Silensak dan Kaili.
Adapun Benteng Sombaopu tetap di bawah kekuasaan raja Gowa. Selanjutnya, pada
tanggal 21 Nopember 1667 Admiral Cornelis Janszoon Speelman mengganti nama
Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam. Pemberian nama sesuai dengan nama
kampung kelahirannya di Negeri Belanda. Dengan dikuasainya Benteng Ujung
Pandang oleh Belanda, maka rumah-rumah adat yang ada didalamnya dimusnahkan.
Selanjutnya pada tahun 1686 C.J. Speelman membangun rumah permanen bentuk Eropa
tiga lantai sebagai tempat tinggal menghadap keselatan membujur dari barat ke
timur dengan luas bangunan 189,65 m. Di benteng inilah Speelman beserta
pasukannya menetap dan menjadikan pusat pemerintahan militer dan sipil Belanda
untuk meluaskan koloninya di Sulawesi. Dalam perkembangan selanjutnya, sekitar
Benteng Ujung Pandang dijadikan kota baru, kota dagang yang dikenal dengan nama
Vlaardingen.
Adapun Arung Palakka yang pernah membantu VOC dalam perang melawan Gowa
diangkat menjadi Raja Bone ke-14 (1667-1696) menggantikan La Maddaremmeng
Matinroe ri Bukaka (1631-1640) setelah selama 17 tahun Kerajaan Bone di bawah
kekuasaan Kerajaan Gowa, namun Arung Palakka tetap tinggal di Makassar.
Dengan kekalahan Sultan Hasanuddin, Kota Makassar akhirnya terpecah menjadi
dua, yaitu Benteng Ujung Pandang dan sekitarnya sampai ke utara di bawah
kekuasaan Belanda kecuali Kerajaan Tallo, sedangkan di bagian selatan yaitu
Benteng Sombaopu dan sekitarnya masih tetap dimiliki Kerajaan Gowa.
Perjanjian Bungaya yang telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin yang sangat
merugikan Kerajaan Gowa menimbulkan banyak pembesar dan bangsawan Kerajaan
Gowa, Wajo, Luwu, dan Mandar tidak menyetujui perjanjian tersebut. Diantaranya
adalah Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Galesong, Karaeng Karunrung,
Karaeng Bontomarannu, dan I-Patimah Karaeng Takontu dengan pasukan Balira.
I-Patimah adalah putri Sultan Hasanuddin dari isterinya I-Daeng Talele
bangsawan dari Sanrobone. Karaeng Bontomarannu yang nama lengkapnya I-Pakkebbu
Daeng Jarre Karaeng Bontomarannu Tumabbicara Butta Gowa adalah putra Karaeng
Karunrung, yang juga panglima perang di Buton (1666) yang pernah ditangkap oleh
Belanda, namun dapat meloloskan diri, sehingga dalam pasal 15 Perjanjian
Bungaya dicantumkan bahwa Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan
kepada kompeni (VOC) untuk dihukum.
Pada tanggal 9 Maret 1668 Kerajaan Gowa memutuskan Perjanjian Bungaya tersebut
sehingga menimbulkan kembali perang antara VOC dengan Kerajaan Gowa. Akan
tetapi, pada bulan April sampai Juli 1668 berjangkit penyakit epidemi yang
sempat meredakan peperangan beberapa bulan. Barulah pada tanggal 14 Juni 1669,
Benteng Sombaopu diserang oleh Belanda, dan pada hari Jumat tanggal 24 Juni
1669 Benteng Sombaopu dapat direbut oleh Belanda setelah terjadi pertempuran
selama 10 hari 10 malam. Menurut cerita penduduk di sekitar Benteng Sombaopu,
bahwa sebagian dari penduduk yang ada di Benteng Sombaopu adalah keturunan dari
5 (lima) orang bersaudara berasal dari daerah Barru yang membantu pasukan
kerajaan Gowa melawan pasukan Kompeni (VOC).
Dengan jatuhnya Benteng Sombaopu, Sultan Hasanuddin kemudian memindahkan pusat
pemerintahan Kerajaan Gowa ke Benteng Ana' Gowa di Taeng di seberang Sungai
Garassi, sampai akhirnya Sultan Hasanuddin mengundurkan diri sebagai raja Gowa
pada tanggal 29 Juni 1669 dan menyerahkan kekuasaannya kepada puteranya
I-Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah. Pada tanggal 12 Juni 1670 Sultan
Hasanuddin meninggal dunia dan dikebumikan di Pallantikang.
Kerajaan Makassar yang telah menanamkan hegemoninya di Indonesia Timur,
akhirnya mengalami kemunduran setelah VOC menjadikannya daerah koloni VOC.
Dalam masa perang Makassar terjadi eksodus besar-besaran penduduk Gowa dan
sekutunya Kerajaan Wajo yang membantunya dalam menghadapi pasukan VOC. Termasuk
dalam eksodus itu adalah para pedagang, meninggalkan Sombaopu ibukota Kerajaan
Gowa, diantaranya menuju Mandar, Kutai, Banjarmasin, Johor, Jambi, dan Banten.
Demikian juga dengan pasukan kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama pasukan
Makassar banyak yang meninggalkan Kerajaan Gowa menuju Madura, Mataram dan
Banten serta tempat-tempat lainnya di Pulau Jawa untuk melanjutkan
perjuangannya melawan VOC. Bersama Karaeng Bontomarannu Tumabbicara Butta Gowa,
I-Manindori Karaeng Galesong berhasil mengumpulkan tentara sebanyak 20.000
orang yang sudah mahir dalam pertempuram. Dalam perjuangan melawan VOC, pasukan
Makassar sering mengadakan perompakan terhadap kapal pedagang VOC yang ditemui,
sehingga oleh VOC menganggapnya sebagai bajak laut.
Pada tahun 1672 pasukan Makassar menuju Madura dan Mataram dipimpin oleh
I-Manindori Karaeng Galesong untuk membantu Pangeran Trunojoyo melawan Raja
Mataram Amangkurat I yang telah berpihak kepada Belanda. I-Manindori Karaeng
Galesong lahir di Bonto Majannang, tanggal 29 Maret 1655 adalah putra Sultan
Hasanuddin dari isterinya yang bernama I-Hatijah Lo’mo Tobo. Karaeng Galesong
selanjutnya memperisterikan Kanjeng Suratna, putri Pangeran Trunojoyo, pada
Desember 1675. Hubungan antara Mataram dan Makasar sangat erat dengan adanya
aliansi yang telah dibuat pada tahun 1633 serta adanya hubungan perkawinan
antara raja Gowa dengan seorang putri raja Mataram.
|
|
|
Syekh Yusuf Tuanta Salamaka.
|
Pasukan
Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Bontomarannu menuju Banten untuk membantu
pasukan Kerajaan Banten yang dipimpin oleh Syekh Yusuf seorang bangsawan dari
Kerajaan Gowa. Namun kemudian Karaeng Bontomarannu meninggalkan Banten kembali
ke Jawa Timur dan bersatu dengan Karaeng Galesong membantu Pangeran Trunojoyo
melawan pasukan Belanda dan pasukan Mataram. Sebagian dari pasukan Makassar
tetap di Banten. Pada tanggal 13 Oktober 1676 pasukan Trunojoyo bersama pasukan
Karaeng Galesong meyerang Mataram dan berhasil menduduki Keraton Mataram,
pasukan Mataram melarikan diri ke Semarang. Tanggal 24 Desember 1676 pasukan
Trunojoyo melanjutkan perjuangan dan membakar Semarang. Dalam peperangan ini
Karaeng Bontomarannu Tumabbicara Butta Gowa tewas. Untuk menumpas pasukan
Karaeng Galesong dan pasukan Trunojoyo, ditunjuklah Speelman memimpin pasukan
Belanda. Akhirnya pada tanggal 12 Oktober 1679 pasukan Karaeng Galesong dapat
dikalahkan namun Karaeng Galesong sendiri dapat meloloskan diri. Karaeng
Galesong yang dapat meloloskan diri akhirnya terkepung dan gugur dalam
pertempuran pada tanggal 21 Nopember 1679, dan dimakamkan di Ngantang, Malang.
Syekh Yusuf yang telah lama menetap di Banten adalah cucu dari Gallarang
MoncongloE dan menantu Raja Gowa Sultan Alauddin yang lahir pada tanggal 3 Juli
1626 di Sinassara Tallo, nama ayahnya adalah Abdullah Khaidhir dan ibunya
adalah Sitti Aminah anak Gallarang MoncongloE. Pada tanggal 22 September 1644,
Syekh Yusuf menuju Banten untuk selanjutnya melanjutkan perjalanannya menuju
tanah suci Makkah guna melaksanakan ibadah haji.
Sekembalinya Syekh Yusuf menunaikan ibadah haji pada tahun 1664 ia singgah di
Banten dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Gowa, karena Kerajaan Gowa
telah dikuasai Belanda, maka ia kembali dan menetap di Banten, kemudian
memperisterikan putri Raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) yang
bernama Syarifah. Versi lain menyebutkan Syekh Yusuf tidak kembali ke Gowa akan
tetapi langsung menetap di Banten. Dari isterinya Syarifah ia memperoleh anak
seorang putra dan seorang putri. Ketika isterinya meninggal dunia, Syekh Yusuf
kawin lagi dengan adiknya Syarifah yaitu Hatijah dan memperolah anak seorang
putra dan seorang putri. Selanjutnya Syekh Yusuf menyuruh kedua putranya yang
bernama Muhammad Abdul Kabir dan Muhammad Abdullah ke Gowa untuk menyebarkan
agama Islam. Syekh Yusuf yang telah lama berjuang di Banten akhirnya ditangkap
oleh Belanda di daerah Karang (Sukapura) pada tanggal 14 Desember 1683 dan
dimasukkan dalam penjara di Jakarta untuk selanjutnya dibuang ke Ceylon (Sri
Lanka) pada tanggal 12 September 1684 bersama keluarganya. Pada tanggal 7 Juli
1693 ia bersama keluarganya dipindahkan ke Afrika Selatan, ditempat terakhir
inilah ia meninggal dunia pada tanggal 23 Mei 1699 di Faure, Cape Town.
Adapun pasukan Bugis Makassar yang ikut bersamanya selama melawan kompeni di
Banten dikembalikan ke Makassar dengan kapal Belanda yang tiba di Makassar pada
tanggal 22 Maret 1684.
Sesudah istana dan benteng Sombaopu diserang oleh Belanda dan dibumihanguskan
oleh orang-orang Gowa sendiri, Sombaopu yang permai musnah menjadi puing-puing.
Gedung-gedung, sekolah-sekolah, masjid, gereja turut musnah, sebagian
penduduknya menyingkir ke Ujung Pandang, demikian juga pelabuhan yang berpusat
di Sombaopu dipindahkan ke Stad Vlaardingen.
Kampung Bontoala yang menjadi daerah kekuasaan Karaeng Karunrung akhirnya
ditinggalkan termasuk istananya yang megah, bersama-sama dengan penduduk
lainnya menyingkir ke Taeng di seberang Sungai Garassi yang ditempati penduduk
dari Benteng Sombaopu dan sisa-sisa pasukan Kerajaan Gowa. Kampung Bontoala
yang ditinggalkan diambil alih oleh Arung Palakka setelah ada kesepakatan dari
C.J.Speelman, dan meminta kepada Arung Palakka untuk tetap tinggal di Bontoala,
agar dapat merundingkan mengenai keamanan dan pembangunan di Sulawesi.
Arung Palakka yang menetap di Bontoala, kemudian membangun sebuah istana yang
istimewa menghadap ke Benteng Ujung Pandang yang dilengkapi pintu gerbang
(istana tersebut terletak di pinggir Jln.Mesjid Raya sekarang). Menyusul
kemudian orang-orang Bugis baik yang sudah lama berada di Sombaopu maupun
pendatang dari Bone menetap di Bontoala, sehingga menjadikan Kampung Bontoala
bertambah ramai. Mengenai orang Melayu yang pernah diusir oleh Karaeng
Karunrung pada waktu pecah perang antara Gowa dan VOC, kembali membangun suatu
perkampungan atas isin Belanda. Tempat yang disediakan adalah Malimongan,
Mampu, dan Rompegading. Karena ketidak cocokan dengan orang Bugis, maka Belanda
memberikan tempat di sebelah utara Stad Vlaardingen. Kampung yang ditempati
orang Melayu kemudian disebut Kampung Melayu, dan selanjutnya oleh orang Melayu
mengangkat pemimpin yang diberi gelar Datuk Penggawa.
Orang-orang Bugis yang berasal dari Wajo yang telah menjadi daerah kekuasaan
Kerajaan Bone diberikan isin oleh Belanda dan Arung Palakka untuk menetap di
Makassar dan membangun perkampungan di Bontoala. Orang-orang Wajo pada umumnya
adalah pedagang yang ulet dan kuat memegang adat istiadatnya. Setelah membentuk
suatu perkampungan, orang Wajo mengangkat seorang pemimpin dan diberi gelar
Matowa. Salah satu Matowa Wajo yang terkenal adalah Amanna Gappa. Amanna Gappa
inilah yang menyusun suatu hukum pelayaran dan tata perniagaan yang terdiri
dari 25 pasal pada tahun 1676 yaitu "Ade' allopiloping bicaranna
pabbalue" dalam sebuah buku lontara yang digunakan oleh orang-orang Bugis
dalam pelayaran dan perdagangan.
Pada waktu Sultan Abdul Jalil menjadi Raja Gowa ke-19 (1677-1709) atas kemauan
Belanda dan Arung Palakka, banyak bangsawan Kerajaan Gowa tidak menyetujui dan
tidak senang atas pengangkatannya sebagai raja Gowa, sehingga meninggalkan Gowa
dan pindah menetap di sebelah selatan Benteng Ujung Pandang yang kemudian
tempat ini menjadi Kampung Beru (Kampung Baru), di kampung ini pulalah Syekh Yusuf
pernah menetap bersama isterinya I-Sitti Daeng Nisanga putri Sultan Alauddin
Benteng Ujung Pandang (Rotterdam) dan sekitarnya mulai ramai pula didiami oleh
penduduk, di selatan benteng Ujung Pandang terdapat Kampung Baru, sedangkan
sebelah utaranya sampai ke timur sampai ke Ujung Tanah dan Tallo telah tumbuh
kampung-kampung yaitu Kampung Wajo, Kampung Melayu, Kampung Bontoala sehingga
membentuk suatu kota yang ramai. Sedangkan kampung-kampung yang berada
disekitar benteng Sombaopu, seperti Maccini Sombala sudah sepi dari penduduk,
demikian juga kampung Mariso. Adapun kampung Sambungjawa, pada tahun 1741
Belanda menyerahkan kembali kepada raja Gowa.
Kampung Bontoala yang dalam perkembangan selanjutnya yang dikuasai oleh Arung
Palakka, adalah mulai dari Pannampu sampai Mamajang. Dengan banyaknya
orang-orang Bugis dari Kerajaan Bone yang menetap, terbentuklah beberapa
kampung-kampung antara lain Lariangbangngi, Maccini, Maradekaya, Ga'dong,
Baraya, dan Pattunuang. Oleh VOC ditempatkanlah seorang pembesar Belanda
sebagai Onderkoopman.
Di kampung Bontoala beberapa Raja Bone yang menetap yaitu:
- La
Temmassenge Sultan Abd.Rajab Jalaluddin Matinroe ri Malimongang
(1748-1775), Raja Bone ke-21. Raja Bone ini pernah mendapat lambang
(bendera) dari Belanda pada tanggal 25 Oktober 1755, bergambar dua tangan
berjabat tangan dihiasi dengan gambar matahari dan bulan, dengan teks
"Lima Siattinge", yang diserahkan dalam Benteng Ujung Pandang.
- La
Tenrituppu Sultan Ahmad Saleh Syamsuddin Petta Ponggawae Matinroe ri Rompegading
(1775-1812), Raja Bone ke-22. Beliau terkenal sebagai seorang raja yang
alim dan sangat aktif dalam penyiaran Agama Islam. Beberapa buku agama
dikarang. Pada masa raja ini, nyanyian-nyanyian bissu yang dilakukan pada
tiap-tiap malam untuk keselamatan raja-raja di Bontoala diganti dengan
zikir.
- Toappatunru
Arung Palakka Sultan Achmad Ismail Mahatajuddin Matinroe ri Lalebata
(1812-1823), Raja Bone ke-23 yang merupakan raja Bone terakhir tinggal di
Bontoala.
Petta Ponggawae Matinroe ri Rompegading Raja Bone ke-22 dikenal sebagai
panglima angkatan laut kerajaan Bone menetap di Rompegading sebagai basis
pertahanan kerajaan Bone di Makassar.
Belanda yang melihat orang Melayu pernah membantu dalam pertempuran melawan
Kerajaan Gowa, maka pemimpinnya yang bergelar Datuk Penggawa diganti dengan
gelar baru ialah pangkat Kapten Melayu, dengan tujuan untuk melaksanakan
kepentingan dan kekuasaan orang Belanda. Kapten Melayu yang pertama adalah
Incik Cuka Abdul Rasul yang diangkat pada tanggal 28 Mei 1706. Setelah kepentingan
dan kekuasaan Belanda bertambah, ditambah lagi jabatan baru bagi orang Melayu
dengan pangkat Luitnant. Pada tanggal 17 Juni 1751 diangkatlah Intjek Morsideng
sebagai Luitnant Melayu mendampingi Kapten Melayu Intjik Bungsu.
Setelah Makassar terbuka bagi seluruh bangsa, berduyung-duyunglah orang-orang
dari luar negeri datang ke Makassar, misalnya : orang-orang Cina (Tionghoa),
Melayu, Maluku, Jawa dan lain-lain. Kedatangan imigrasi orang-orang Cina di
kota-kota pelabuhan yang telah dikuasai oleh VOC termasuk Makassar sangat
dianjurkan oleh VOC untuk dipekerjakan sebagai tukang-tukang dan pedagang.
Orang-orang Cina yang tiba di Makassar diberi tempat (perkampungan) tersendiri
oleh Belanda yaitu disebelah utara Benteng Rotterdam berdekatan dengan pelabuhan
yang telah dipindahkan dari Sombaopu ke Stad Vlaardingen. Tempat itu berdekatan
dengan perkampungan orang-orang Melayu. Orang Cina pada umumnya berasal dari
Macao yang mempunyai keahlian dibidang pertukangan dan kerajinan. Disamping
keahlian yang dimilikinya, tradisi dan kebudayaan tetap dipertahankan sampai
sekarang. Sama halnya dengan orang-orang Melayu, maka orang-orang Cina di
Makassar mempunyai pula pemimpin yang diberi pangkat Kapten dan Luitnant.
Menurut beberapa sumber, bahwa orang Tionghoa yang masuk ke Makassar sebagian
besar adalah pengungsi dari Pulau Jawa berhubung terjadinya pemberontakan
orang-orang Cina di Batavia (Jakarta) terhadap Belanda pada tahun 1740.
|
|
|
La Maddukelleng, Arung Matoa Wajo.
Sumber gambar: SK Kompas, 26 Februari 1996,
repro Humas Pemda Wajo (diedit).
|
Kekalahan
Kerajaan Gowa dari VOC tidak mengurangi perjuangan rakyat dari Kerajaan Gowa
dan kerajaan-kerajaan lainnya terhadap VOC. Ini terlihat adanya perlawanan
antara lain, Kerajaan Wajo di bawah rajanya yang bergelar Arung Matowa Wajo ke
34 La Maddukelleng (1736-1765) dibantu menantunya Aji Sultan Muhammad Idris,
Raja Kutai Kertanegara ke 14 (1732-1739) kembali bersama-sama dengan pasukan
Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Karaeng Bontolangkasa membangun kekuatannya melawan
Belanda di Makassar. Pada bulan Mei 1739 kedua tokoh anti Belanda itu
mewujudkan serangannya kepada Belanda dengan menyerang beberapa daerah
kekuasaan Belanda di Makassar, seperti kampung Maccini dan Maricayya. Akan
tetapi serangan-serangan yang dilakukan oleh Wajo dan Gowa tidak berhasil,
karena orang-orang Bone yang bergabung dengannya berbalik menentangnya. Dalam
peperangan ini, Aji Sultan Muhammad Idris luka berat, dan meninggal dunia dan
dimakamkan di Sengkang. Aji Sultan Muhammad Idris memperisterikan Aji Putri
Agung salah seorang putri La Maddukelleng dengan Andeng Ajeng putri Raja Pasir.
Selanjutnya pada tahun 1776 terjadi lagi perlawanan terhadap VOC dari Gerakan
Batara Gowa yang dipimpin oleh Amas Madina. Amas Madina diberi gelar Batara
Gowa I-Sangkilang pada Juni 1758 semasa beliau masih menjadi raja Gowa yang
diangkat pada tanggal 21 Desember 1753, yang kemudian pada tahun 1766 secara
diam-diam meninggalkan tahtanya mengembara ke tempat lain. Dalam pergerakan
itu, ia menentang VOC dan berusaha merebut tahta kerajaan Gowa. Dalam
perlawanannya ia berhasil merebut Pos VOC di Maros pada Mei 1777, namun dalam
bulan itu juga dapat diambil alih oleh Punggawa Datuk Baringeng dari Kerajaan
Bone tanpa perlawanan. Bone memperkuat kekuasaanya di daerah itu, yang oleh VOC
sangat potensial karena Maros dan sekitarnya merupakan penghasil beras yang
dapat diekspor. Akhirnya pada bulan Juli 1778, VOC dapat memadamkan Gerakan
Batara Gowa dengan berhasilnya menangkap Batara Gowa I-Sangkilang, dan kemudian
diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka) pada tahun 1767, disana ia meninggal dunia
pada tahun 1795.
Maros yang dikuasai oleh Bone tidak dapat diambil alih berhubung pecah perang
antara Inggris dan Belanda di Eropa (1780-1784). Perang ini sangat mempengaruhi
keuangan VOC yang memasuki masa kritis karena kelangkaan peredaran uang dan
terbatasnya bahan baku untuk pembuatan mata uang logam, sehingga VOC mulai
melemah, ditambah dengan pecahnya Revolusi Prancis pada tahun 1789, yang
mengakibatkan pendudukan oleh Inggris atas wilayah kekuasaan Belanda di Timur
dan Barat.
Mengingat perdagangan yang dilakukan oleh VOC yang dibentuk sejak tanggal 20
Maret 1602 mengalami terus kerugian. Tahun 1798 Pemerintah Belanda campur
tangan dan pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan, sehingga kekuasaan VOC
di Nusantara berakhir dan semua kekayaan dan hutang piutang VOC diambil alih
oleh Bataafsche-Indie Republiek (Republik Batavia-India), termasuk
hutang-hutang sebesar + f 120 juta.
Dengan berakhirnya masa VOC, pada tahun 1806 Belanda membentuk Panitia Umum
terdiri C.Th.Elout dan C.H.van Grasveld, bertugas menangani wilayah koloni
Belanda. Panitia ini kemudian mengangkat Herman Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal pada tanggal 5 Januari 1808 menggantikan Albertus H.Wiese
untuk mengadakan perobahan dan memperbaiki soal keuangan serta menjalankan
pemerintahan koloni Belanda di Hindia Timur (Oost Indie) berdasarkan Titel VII
Staatsregeling 1798. Serah terima berlangsung pada 14 Januari 1808.
Kekuasaan untuk mengurus semua daerah milik/ koloni di Asia dilakukan oleh
suatu Raad van Aziatische Bezittingen en Etablissementen dan bertanggung jawab
kepada Dewan Eksekutif Republik yang anggotanya diangkat oleh Dewan Eksekutif.
Berdasarkan pada pasal 249 Staatsregeling, Dewan Eksekutif menetapkan suatu
“charter” untuk koloni-koloni. Dengan Staatsregeling 1801, Staatsregeling 1798
diganti, yang hanya memuat 2 pasal mengenai koloni, yaitu pasal 47 dan pasal
48. Pada pasal 48 menentukan bahwa “inwendig Bestuur” dan Wet Koloni-koloni
diatur dalam Charter Koloni. Selanjutnya Staatsregeling 1801 mengalami beberapa
kali perubahan.
Dengan publikasi 7 Agustus 1806 diumumkan Grondwet Kerajaan Belanda, yang di
dalamnya terdapat 2 pasal mengatur mengenai koloni yaitu pasal 12 dan 36. Dalam
pasal 12 ditetapkan bahwa pemerintahan koloni Belanda ditetapkan dengan wet
khusus. Pasal 36 mengatakan pengaturan koloni-koloni tersebut dan mengenai
seluk beluk pemerintahan interennya semata-mata tugas raja. Dengan Surat
Keputusan Raja tanggal 9 Januari 1807 ditetapkan Instruksi kepada Gubernur
Jenderal dan juga Instruksi dari Gubernur Jenderal bersama-sama Raden van Indie
untuk menamakan Hindia Belanda menjadi “Aziatische Colonien en Bezittingen van
Z.M. den Koning van Holland”.
Pada tahun 1803 Pelabuhan Makassar yang terletak di pesisiran Vlaardingen,
diperbaiki. Catatan dari waktu itu menggambarkan, panjang dermaga 278 kaki
(sekitar 83,73 m), lebar ke darat 9 kaki (sekitar 2,74 m), dan ke laut 10 kaki
3 inci (3,14 m).
Pada tanggal 16 Mei 1811 Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens sebagai
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tidak lama setelah Janssens menjalankan
pemerintahan, Inggris menyerbu Pulau Jawa dan berhasil merebutnya setelah
mendarat di Cilincing pada tanggal 10 Agustus 1811 di bawah pimpinan Jenderal
Auchmuty. Jansssens kemudian ditangkap di Buitenzorg (Bogor) tanggal 18
September 1811 yang mengakhiri kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Kekalahan
Pemerintah Belanda ini adalah salah satu akibat Perang Napoleon di Eropa,
Belanda dikuasai oleh pemerintah dari kekaisaran Perancis dibawah Napoleon, dan
Inggris mendapat kesempatan meluaskan daerah jajahannya dengan merebut daerah
jajahan Belanda termasuk Hindia Belanda.
Dengan adanya penyerbuan tersebut, Belanda menyatakan menyerah, sehingga
terjadi perobahan penguasa di Hindia Belanda dari Pemerintah Belanda kepada
Pemerintah Inggris yang dilaksanakan pada tanggal 18 September 1811 di Semarang
oleh Janssens. Pemerintah Inggris kemudian mengangkat Luitenant Gouvernour
General Thomas Stanford Raffles untuk mengurus pemerintahan Hindia Belanda.
Raffles selanjutnya mengirim para pejabat ke berbagai daerah untuk mengambil
alih pemerintahan. Untuk wilayah Makassar dan Daerah Taklukannya dikirim
Richard Phillips (1812-1814). Serah terima dengan Gubernur Makassar Letnan
Kolonen Johan Caesar van Wikkerman (1809-1812) berlangsung pada tanggal 6 Maret
1812 bertempat di Fort Rotterdam (Benteng Ujung Pandang). Pegawai Pemerintah
Hindia Belanda tetap dipekerjakan dan berada dibawah pejabat Inggris dan
disumpah untuk tunduk pada kekuasaan Raja Inggris dan pejabat EIC (East India
Company) di Makassar.
Sehari setelah timbang terima, tepatnya tanggal 7 Maret 1812, Residen Phillips
mengumumkan bahwa Makassar terbuka bagi semua pedagang dari koloni bangsa
Eropa, hukum dan kebiasaan yang dilaksanakan di wilayah pemerintahan Makassar
tetap dipertahankan, dan Pemerintah Inggris akan berusaha mensejahterakan
penduduk. Kemudian pada tanggal 15 Maret 1812 diumumkan menghapus dan
meringankan pajak gerobak angkutan dan kuda beban. Selain itu, pada tanggal 18
Nopember 1812 Raffles mengeluarkan pengumuman yang isinya melarang perdagangan
budak di wilayah kekuasaannya. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh Phillips
dengan mengeluarkan keputusan pada tanggal 6 Januari 1813 yang isinya melarang
import dan export budak di wilayah Makassar.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles bermaksud menerapkan politik
kolonial seperti dijalankan oleh Inggris di India, menurut suatu sistem yang
dikenal dengan pajak bumi (landrente). Pemungutan pajak bumi (landrente) mulai
diberlakukan pada tahun 1813, dan pemungutannya dijalankan oleh Desa. Daerah
pertama yang terkena peraturan ini adalah Banten.
Dengan beralihnya kekuasaan kepada Inggris di Sulawesi Selatan, ditolak
mentah-mentah oleh beberapa kerajaan termasuk raja-raja dari Bone, Suppa, dan
Tanete yang mendapat dukungan dari kerajaan Sawitto, Alitta, dan Rappang.
Sedangkan kerajaan Gowa dan Sidenreng tetap memihak kepada Inggris karena
keterikatan dalam perjanjian yang telah dibuat. Pada tahun 1814 terjadi perang
di Rompegading, Makassar antara pasukan Inggris dan pasukan Bugis yang dipimpin
oleh Raja Bone ke-23 Toappatunru Arung Palakka Matinroe ri Lalebata (1812-1823)
yang berdiam di Bontoala. Rompegading merupakan basis pertahanan Kerajaan Bone
di Makassar yang ingin dikuasai Inggris, sehingga Toappatunru Arung Palakka
diserang oleh pasukan Inggris yang menimbulkan perang yang disebut Rumpa'nna
Rompegading artinya Perang di Rompegading.
Pemerintahan Raffles baru berjalan 5 tahun, pada tanggal 12 Maret 1816 ia
digantikan oleh John Fendall. Menyusul kemudian pada tanggal 11 Desember 1816
Pemerintah Belanda kembali berkuasa di Hindia Belanda sesuai dengan Konvensi
London (London Tractaat) tanggal 13 Agustus 1814, yang menyatakan bahwa
Pemerintah Inggris menyerahkan Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda, dengan
ketentuan Belanda bersedia menerapkan kebijakan perdagangan bebas, tetapi
kemudian ingkar janji. Penyerahan kekuasaan diserahkan kepada Komisaris
Jenderal yaitu Cornelis Theodorus Elout, Arnold Adriaan Buyskes dan Godert
Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen melalui John Fendall pengganti
Raffles. A.G.Ph.B.van der Capellen selanjutnya diangkat menjadi Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda pada tanggal 16 Agustus 1816 untuk menjalankan kekuasaan
pemerintahan dalam segala bidang berdasarkan Regeerings Reglement (RR) 1815
tanggal 3 Januari 1815. Didalamnya tercantum dasar pemerintahan yang perlu
memperhatikan perbaikan nasib rakyat, pendidikan agama, dan moral serta perlu
mendorong kebebasan bercocok tanam dan melangkah ke pemungutan pajak tanah.
Pemerintahan atas daerah jajahan yang dijalankan oleh Belanda pada waktu itu,
dilakukan secara otokratis, birokratis, dan sentralistis dengan kurang
mengindahkan struktur pemerintahan asli yang ada.
Pemerintahan yang dijalankan di Makassar juga dikembalikan ketangan Belanda
(gouverneur van Makassar) yang dilangsungkan di Makassar pada tanggal 25
September 1816 melalui Chasse (mantan Gubernur Makassar) yang ditunjuk sebagai
Komisaris untuk menerima wilayah tersebut dari D.M.Dalton (1815-1816). Dengan
adanya pergantian pemerintahan, Belanda memperkuat kembali persekutuannya
dengan kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar seperti sebelum pendudukan Inggris demi
keamanan kepentingan Belanda di kawasan ini.